Menurut Sejarah Angklung Merupakan Musik Sunda Pada Masa Perang Bubat Tahun 1357

- 16 November 2022, 10:04 WIB
Acara bertajuk Harmony Angklung for The World di Stadion Siliwangi, Bandung, Jawa Barat, 23 April 2015. /Pikiran Rakyat/Ade Bayu Indra
Acara bertajuk Harmony Angklung for The World di Stadion Siliwangi, Bandung, Jawa Barat, 23 April 2015. /Pikiran Rakyat/Ade Bayu Indra /

Realitasttu.com - Menurut sejarah tertua angklung merupakan musik kerajaan Sunda dalam ajang perang Bubat tahun 1357.

Dikutip dari pikiran-rakyat.com, Pada masa perang angklung tersebar sampai ke Jawa Timur. Diceritakan dalam Negarakertagama, ketika Hayam Wuruk mendatangi Jawa Timur tahun 1359, ia dijemput dengan musik angklung yang dimainkan rakyat.

Angklung juga tersebar ke banyuwangi, tampak dengan angklung carok, sampai ke Bali, yakni cumang kirang, alat musik logam yang khas dengan angklung.

Sultan Ageng yang menyukai kesenian pada abad ke 17, sering menggelar kesenian angklung di Keraton Banten. Para pemainnya berasal dari Banten serta Bali. Pada zaman itu angklung tersebar sampai ke Kalimantan serta Sumatra.

Baca Juga: Seorang Pria di Jaksel Dihakimi Massa Setelah Diteriaki Maling

Dilarang oleh Kompeni Saat Belanda menyerang Banten, Sultan Ageng mengerahkan rakyatnya untuk melawan. Untuk membakar semangat juang, angklung digunakan sebagai musik perang. Lagu perang yang terkenal berjudul Balagajur.

Sayang, perlawanan itu dipatahkan dan Banten takluk. Sejak itu, angklung dilarang dimainkan karena suaranya yang dimainkan bersama-sama dinilai sakral dan dapat membangkitkan semangat perlawanan rakyat.

Larangan itu tidak membuat rakyat Sunda meninggalkan angklung. Keteguhan memegang adat membuat angklung dipertahankan, bahkan dikembangkan. Di Bungko, Cirebon, misalnya, terdapat angklung bungko yang dibuat Syeh Bentong atau Ki Gede Bungko, 600 tahun lalu.

Baca Juga: Kapolsek Pinang Dicopot Dari Jabatannya dan Dipindahkan ke Yanma Polda Metro Jaya, Simak Ulasannya

Kesenian itu dimainkan dalam upacara Nadran, Ngunjung ka Gunung Jati, Sedekah Bumi, dan dilestarikan sebagai kesenian pendukung penyebaran agama Islam.

Merayu Dewa turun ke Bumi

Jenis angklung lainnya adalah angklung buncis yang dibuat Pak Bonce pada 1759 di Arjasari dan dimainkan dalam upacara Nginebkeun Pare, Helaran, serta Seren Taun.

Angklung buncis menyebar ke Ciwidey, Ujungberung, dan Garut. Di Cipining, Bogor, terdapat juga angklung gubrag.

Angklung juga berkembang karena sifatnya yang dinamis dan mudah dimainkan dengan kesenian lain.

Baca Juga: Arahan Penguatan Pancasila Bagi ASN Oleh Wapres di Pendopo Gubernur Banten

Dalam sifat sosialnya ini, angklung berkolaborasi dengan alat musik lain hingga membentuk kesenian baru seperti prakpilingkung, bangklung, dan angklung degung.

Dalam upacara adat Seren Taun di Bogor, terdapat waditra (instrumen musik) yang tidak dapat dilepaskan dari jalannya upacara. Waditra tersebut adalah angklung gubrag.

Angklung gubrag merupakan salah satu kesenian angklung tertua yang masih dimainkan masyarakat, terutama di Cipining, serta daerah-daerah lain di Bogor.

Baca Juga: Arahan Penguatan Pancasila Bagi ASN Oleh Wapres di Pendopo Gubernur Banten

Angklung gubrag pertama kali dibuat pemuda benama Mukhtar. Alkisah, zaman dahulu, Kampung Cipining, Bogor, terancam kelaparan akibat padi tidak tumbuh dengan baik. Penduduk meyakini musibah itu terjadi karena Dewi Sri, dewi pertanian kesuburan yang bersemayam di angkasa, sedang murung.

Penduduk lalu melakukan berbagai usaha untuk mengundang Dewi Sri turun kembali ke bumi dan memberikan berkahnya bagi kesuburan padi. Beberapa usaha dilakukan di antaranya menyediakan sesajian dan menggelar pertunjukan kesenian seperti seruling, karinding, dan lain-lain. Namun usaha-usaha itu tidak membawa hasil.

Akhirnya Mukhtar pergi ke Gunung Cirangsad untuk menebang pohon bambu surat. Sambil matigeni selama empat puluh hari, bambu-bambu diolah menjadi angklung. Permainannya ditambahkan dengan dua dog-dog lojor.

Baca Juga: Lakukan TPPU Serta Sebar Berita Bohong Indra Kenz Divonis 10 Tahun Penjara

Dia mengajarkan permainan angklung kepada penduduk dan mengatur upacara pemujaan bagi Dewi Sri. Ternyata setelah upacara, padi tumbuh subur dan bernas.

Hal itu diyakini sebagai pertanda bahwa Dewi Sri menerima upacara tersebut. Karena mampu memikat Dewi Sri untuk turun dari langit (ngagubrag) dan menyebar berkahnya di bumi, angklung itu dinamakan angklung gubrag.

Hingga kini, angklung tertua yang pernah dibuat itu diyakini berasal dari Banten. Di Baduy Jero, terdapat angklung baduy yang dimainkan dalam upacara Ngaseuk Pare yang digelar untuk menghormati Sang Hyang Asri atau Dewi Sri sebagai dewi pertanian dan kesuburan.

Di Baduy Panamping, selain dimainkan dalam upacara adat, angklung baduy dimainkan untuk tujuan hiburan.

Dalam fungsi ini, angklung baduy dimodifikasi dengan tambahan tiga dog-dog lojor, bedug, dan bedug lojor.

Modernisasi angklung tahun 1938 oleh Daeng Soetigna

Perkembangan angklung yang paling besar dilakukan Daeng Soetigna pada 1938. Dengan bantuan gurunya, Pak Djaja, Daeng Soetigna membuat angklung berskala tangga nada diatonis.

Angklungnya itu dikenal sebagai angklung daeng. Ia memperkenalkan kreasinya sebagai alat pembina Pramuka.

Pada 1947, grup seni angklung Daeng mementaskan angklung daeng dalam acara kesenian Perundingan Linggajati.

Pada 1950, Daeng Soetigna pindah ke Bandung. Di Bandung, dia membentuk grup seni angklung bersama murid-muridnya seperti Agam Ngadimin, Hidayat Winitasasmita, Opan Sopandi, Sanu'i Edia S., Yahya Erawan, Obby A.R. Wiramihardja, dan Udjo Ngalagena.

Bersama grup angklungnya, Daeng dipercaya menggelar pertunjukan angklung dalam acara hiburan Konferensi Asia Afrika 1950. Acara itu mengangkat angklung secara luas ke panggung internasional.

Selama tahun 1950-an, gairah perkembangan angklung semakin menggelora. Banyak sekolah yang mulai memasukkan angklung sebagai mata pelajaran seni musik. Namun, minimnya persediaan angklung membuat penyebarannya tersendat. Salah satu murid Daeng Soetigna, Udjo Ngalagena, memutuskan merintis usaha pembuatan angklung.

Sejak 1958, Udjo Ngalagena membuat dan menyalurkan angklung ke sekolah-sekolah yang membutuhkan melalui sanggarnya yang ia namakan Saung Angklung Udjo.

Di saungnya, selain mengajarkan angklung pentatonis dan diatonis, Udjo Ngalagena mengembangkan teknik permainan angklung berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda yang terdapat dalam kecapi.

Kalau Daeng Soetigna terkenal sebagai tokoh "yang mengangklungkan piano", Udjo Ngalagena terkenal sebagai tokoh "yang mengangklungkan kecapi".

Hingga kini, Saung Angklung Udjo terkenal sebagai sentra budaya tempat memproduksi alat musik bambu, pelatihan angklung, serta pergelaran seni pertunjukan, dan pariwisata.

Suatu peristiwa bersejarah dalam perkembangan angklung adalah ditetapkannya angklung sebagai alat pendidikan musik nasional oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui SK. No. 082/1968 pada 23 Agustus 1968 atas dasar pemikiran terkandung sifat-sifat baik dalam permainan angklung seperti kerja sama, disiplin, keterampilan, tanggung jawab, dan olah rasa musikalitas.

Pada 10 September 1968, Daeng Soetigna menyerahkan angklung secara simbolis kepada UNICEF sekaligus memperkenalkan moto pendidikan angklungnya yang terkenal dengan 5M (Mudah, Murah, Menarik, Mendidik, dan Massal).

Daeng Soetigna juga mengungkapkan cita-citanya agar angklung dikenal setiap bangsa sebagai musik pemersatu dan perdamaian dunia. (Iman Rahman A.K., guru SD Mutiara Bunda dan editor MinorBacaanKecil tahun 2006)***

Artikel ini telah tayang di portal pikiran-rakyat.com, dengan judul "Angklung dari Masa ke Masa, Jadi Musik Perang dan Dipakai Merayu Dewa Agar Turun ke Bumi"

https://www.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-015844546/angklung-dari-masa-ke-masa-jadi-musik-perang-dan-dipakai-merayu-dewa-agar-turun-ke-bumi

 

Editor: Agustinus Abatan

Sumber: pikiran-rakyat.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x